
Pagi masih terlalu perawan, aku mengunjungi sepasang danau yang ditumbuhi anggrek putih di sembir matamu.
Daun masih basah oleh geremis, burung-burung masih bersenandung menyunting kabut, namun diriku begitu ringkih dalam hamparan duri.
Perlahan-lahan tubuhku lumat terkikis bisik yang sepi.
Sepertinya jantungku tak lagi berdesir. Ia tak lagi patuh pada ritme debar yang disepakati tubuh. Pun tak lagi lezat dengan kehadirannya.
Seorang lelaki yang baru saja kau pungut dari cahaya yang buram.
Selekas itu, ia menumbuh tumbuhkan mawar merah di jantungmu, yang lebih dahulu mekar, sebelum selarik puisi kukirim untukmu membuka pagi.
Sungguh, kali ini aku menggila, sebab yang sedemikian adalah kekosongan yang kuraih. Pun di waktu yang singkat.
Lalu, senyap kata selamat tinggal dari lipstik merah jambu. Aku tak sempat mendengarnya, ataupun kau belum sempat membunuh bersama geremis yang dilumat sengatan matahari.
Aku tak sempat merayu, tatkala kau telah pergi bersamanya, tinggalkan aku dan sehimpun puisi elegi.
Ishak R. Boufakar
Siswa Literasi Paradigma Institute Makassar
Sumber : seramtimur.com
0 komentar:
Posting Komentar