“Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya, haruslah menggunakan tipu muslihat, licik, dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman, penggunaan kekuatan” Kira-kira begitulah pendakuan Niccolo Machiavelli.
Berangkat dari apa yang diyakini Machiavelli, maka wajah politik dipandang bukan lagi sebagai suatu sistem yang mengatur tatanan sosial masyarakat secara ideal, tapi telah bermetamorfosis menjadi budak penguasa ataupun yang ingin berkuasa. Maka tak heran jika dewasa ini, ketika sebagain orang ditanyai tentang politik! Bagi mereka politik adalah instrumen legitimasi bagi mereka yang menginginkan kekuasaan.
Dampak dari realitas politik yang terjadi belakangan ini, pun telah membentuk suatu paradigma baru bagi rakyat biasa ketika kata politik terjamah di telinga mereka. Politik serupa frasa yang mewakili realitas penuh adegan-adegan kepalsuan, puisi-puisi berjudul “Janji Palsu” yang dibacakan pada setiap panggung-panggung politik berlangsung, serupa pertarungan merebut piala yang dinamai “Jabatan” seperti kata pepatah lama “curang adalah bagain dari pertarungan” meski membunuh lawan atau membayar suara, demi memenangkan pertarungan tersebut, hal itu dilakukan tanpa rasa bersalah.
Menelisik lebih jauh, pusaka wasiat Aristoteles perihal istilah usang bahwa “Manusia adalah Mahluk Sosial” hampir kehilangan maknanya, ulah beberapa orang yang ingin mengukir nisannya di atas kekuasaan. Politik dan negara seakan boneka di warung Pak Mahmud yang dengan uang dia dapat memilikinya.
Black Campaight, sebuah istilah yang sering diberitakan media yang menunjukan pada suatu tindakkan yang menghalalkan segala cara agar menang pada pemilu. Sedemikian tinggi hasrat menjadi penguasa, sehingga apapun dilakukan demi menduduki kursi kekuasaan. Money politic (politik uang) tak tanggung-tanggung ditunaikan sebagai cara yang dianggap paling efisien dalam memperoleh dukungan rakyat. Istilah “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” mungkin para politis ini memiliki kamus sendiri dalam menafsirkannya.
Hal serupa juga yang dikhawatirkan Karl Marx. Bahwa jika politik telah menjadi mesin bagi penguasa untuk menindas rakyat. Maka, sungguh masyarakat tanpa kelas yang di cita-citakan Marx, jauh di awang-awang.
Lain halnya dengan Ali Syariati. Katanya, bila berkaca pada sejarah, bahwa pada setiap zaman, akan selalu terjadi pertentangan kelas. Tapi bukan yang dimaksudkan Marx, bahwa pertentangan kelas penguasa dan kelas proletar. Namun, yang dimaksudkan Ali Syariati adalah pertentangan antara representase Qabil dan Habil. Di mana, satu mewakili benar dan yang satu mewakili yang salah.
Kelompok yang mereprentase Qabil adalah Qarun sebagai perwakilan Kapitalisme, Fir’aun sebagai perwakilan pemerintahan yang otoritatif, Bal’am sebagai perwakilan ulama yang memperalat agama sebagai legitimasi penguasa, dan Haman sebagai perwakilan Intelektual yang berada di bawah bayang-bayang penguasa (pelacur intelektual). Kata Syariati, jika kelompok ini telah ada dalam suatu realitas sosial maka realitas sosial tersebut telah mengalami “kematian sosial”. Dan jika ini telah terjadi, maka satu-satunya jalan adalah melawan sistem Qabil dengan berdiri di barisan Habil, melakukan revolusi.
Revolusi menjadi cita-cita mulia bagi mereka yang berdiri di barisan Habil, tentulah bukan sesuatu yang datang begitu saja, atau terjadi secara kebetulan, namun harus diperjuangkan oleh massa yang telah melebur, atau manusia-manusia yang secara universal mengikat diri pada sebuah nilai katauhidan demi terwujudnya masyarak ideal.
Masih dengan Syariati. Baginya, manusia-manusia yang mengikat diri pada nilai ketauhidan di atas haruslah membebaskan diri dari empat penjara dan musuh manusia. Seperti yang di kutip dari buku Asran Salam,“Dari Revolusi Diri ke Revolusi Sosial” empat penjara dan musuh manusia itu antara lain:
Penjara pertama; alam. Hukum alam dapat membawa manusia kepada kondisi yang determinis-mekanistik. Jika manusia tidak mampu “menundukan” alam, maka akan menghambat manusia dalam efektifitas dan efisiensinya. Hukum alam pada dasarnya memiliki tabiat keterbatasan sehingga manusia yang berada di dalamnya, jika mengikuti kehendak alam, pada dasarnya sudah terjebak pada penjara ini.
Penjara kedua; sejarah. Sejarah yang dimaksud di sini berupa tradisi-tradisi, paham-paham, yang terjadi dalam masyarakat yang lalu dan kita menerima semuanya tanpa koreksi. Kita cenderung menerima semua secara apatis apa yang terjadi pada masa lalu sebagai kelanjutan hari ini secara linier. Sejarah yang demikian dalam pandangan Syariati akan meremehkan kebebasan manusia. Sebagai contoh Syariati dalam memberikan penggambaran tentang sejarah tersebut: “... Kenapa saya berbahasa dengan bahasa tertentu, memeluk suatu agama, ikut pada sosial dan kultur ini, memiliki identitas dan personalitas ini, semuai ini dan seluruh ciri-ciri yang saya miliki semuanya telah ditentukan oleh sejarah...” dengan penjara sejarah, manusia dapat kehilangan pandangan futuristiknya, kemampuan untuk melihat apa yang akan dilakukan pada masa depan. Dengan penjara sejarah, manusia akan menerima kondisi yang dialaminya sekarang.
Penjara ketiga; masyarakat. Masyarakat merupakan kekuatan deterministik jika menganggap bahwa keberadaan manusia, semuanya dibentuk oleh masyarakat, karakter-karakter yang dimiliki semua berangkat dari kondisi masyarakat dimana manusia berdiam. Sehingga, dengan penjara ini manusia kehilangan inovas, kreativitas, untuk mengubah kondisi yang dialami. Dengan demikian, manusia mengalami penghambatan dalam mengenal kediriannya yang sesunggunya.
Penjara keempat; ego. Baginya, penjara ini adalah penghambat yang berat untuk dihadapi manusia karena ia berada dalam diri manusia. Bangkit dari penjara yang ada dalam diri merupakan tugas yang sangat menantang, terutama sekali pada abad ilmu dan teknologi sekarang ini. Belum pernah sebelumnya manusia begitu lumpuh, lesu, dan tanpa harapan dalam penjara ini. Penjara ini sangat jauh berbeda dengan penjara-penjara sebelumnya, karena di penjara ini manusia bisa mengalami absurditas. Absurditas yang dirasakan manusia tidak lepas dari setelah pemenuhan segala hasrat, nalurinya. Pemenuhan insting manusia secara berlebihan mengantarkannya pada kelupaan dimensi dalam diri yang sublim, yakni realitas ruhani.
Syahdan, kita masyarakat saat ini, hidup di mana ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat menuju kesempurnaanya, dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Sebagai masyarakat modern, tentulah mengingikan seorang pemimpin yang mampu menjalankan sistem pemerintahan demokrasi di tengah-tengah masyarakat yang demokratis, pemimpin yang menjalankan sistem politik yang sarat akan nilai-nilai kemanusian; kejujuran, keadilan, dan kemerdaan manusia. Tinggal kita memilih, dengan kacamata apa kita menetukan sebuah pilihan politik yang diinginkan bersama , dan sosok seperti apa yang pantas menjalankannya.
Penulis: Syarif Lahmady, kelahiran Ambon 01 Juni 1992, suka kopi dan rokok. Senang menggosip Tuhan dan perempuan.
Penulis: Syarif Lahmady, kelahiran Ambon 01 Juni 1992, suka kopi dan rokok. Senang menggosip Tuhan dan perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar