
Oleh: Syarif Lahmady
Malam gelap pekat, angin bertiup kencang, tirai jendela terbang mengayun diterpa angin, udara semakin dingin— basah karena hujan yang enggan berhenti semenjak sore tadi. Tubuh Salama tertutupi selimut katun bercorak bunga-bunga di atas ranjang kamar pengantinnya. Di pojok bilik, matanya menjamah merona lentera berjibaku dengan angin yang ingin melenyapkannya.
Seekor kunang-kunang berhasil masuk melewati terali jendela, memerangi gelap dengan cahaya kekuning-kuningan. Hujan semakin bernafsu mengguyur bumi, gemuruh guntur dan petir sesekali terdengar santer di telinga, cahaya kilat menerobos sela-sela jendela dan rapatan papan, dinding kamar itu. Dingin genit menembus selimut dan mengelus tubuh Salama yang baru dipersunting Rahmat seminggu yang lalu. Bulu kuduk Salama berdiri menegaskan keberadaannya, saat tangan kemayu Rahmat mengelus lembut bahu hingga meremas jemarinya.
“Apakah itu tujuanmu menikahiku? Sehingga menggoda hatimu untuk menemui orangtuaku, dengan datang membawa cincin emas lima gram, dan jadilah kesucian itu milik mu? Seakan ritus perkawinan diciptakan agama hanya untuk menodai kesucian kaumku,” tutur Salama yang tidur membelakangi Rahmat di ranjang kamar pengantin mereka.
“Pikirku! Kau tau bahwa Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan, kita ibarat pena dan kertas, aku adalah pena dan kau lembarannya. Pertemuan pena pada kertaslah terciptanya tulisan-tulisan indah,” jawab Rahmat lembut seperti merayu, berusaha mendapati sesuatu yang dianggap haknya semenjak hari pernikahannya dengan Salama.
“Tidakkah itu berarti pena menodai kertas dengan tintanya?” jawab Salama cepat menimpali.
“Kau keliru, pena diciptakan untuk menulis pada kertas. Begitupun kertas, padanya pena menulis dirinya, hingga lahirlah pesanNya pada kertas yang dibubuhi tinta pena. Serupa langit yang menurunkan hujan pada bumi, dari pertemuan hujan dengan bumi, tumbuhlah tumbuhan-tumbuhan yang subur.” Jelas Rahmat dengan nada semakin merayu.
Lidah Salama kelu dalam tidurnya yang geming, mulutnya tak lagi berucap, begitu dirasakannya telah dalam pelukan Rahmat. Serupa busur panah melesat munuju sasaran, udara dingin dan angin bertubi-tubi menghujam tubuh Salama, saat selimut katun itu dilepas Rahmat dari tubuhnya. Tapi sesuatu yang aneh dirasakan Salama, dingin itu tak berhasil membuatnya menggigil, begitu Rahmat menusukan keris penghidupan warisan sejarah dari perguruan Tuhan, ke tubuhnya. Setiap tusukkannya serupa gunung merapi menumpahkan laharnya, gairahnya membara membakar jiwa. Tubuhnya peluh, kendati begitu ringkih meski nafas tersengal-sengal pada setiap helayannya yang tak seirama detik, matanya sayup, suaranya meraung menahan nyeri di antara kedua paha lalu menyebar ke sekejur tubuh. Batinnya berontak, antara ketidakrelaan dan kenikmatan bertarung saling membunuh dalam jiwanya yang lemah. Semakin melemah, lalu perlahan mati, mati di ujung malam, seiring butir darah bening mengucur dari kelopak matanya yang terpejam, membanjiri sungai di pipinya dengan bau kedukaan yang menyengat.
***
Ayam berkokok tanda pagi hampir tiba, suara azan dikumandangkan muazin dari musala desa, di luar hujan hampir reda, Salama bangun dari tidur dengan tubuh yang tak lagi suci, bergegas dari tempat tidur, merapikan tubuh, dan lenyap di balik pintu kamar, lalu ke dapur memasakkan air panas. Karena sebentar lagi Rahmat—guru agama di salah satu madrasah itu akan bangun menunaikan shalat subuh dan besiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
Pagi timbul bersama kabut, awan mendung Desember meriung di langit Geser—pulau terapung di tepi Timur pulau Seram, Maluku.
Pagi timbul bersama kabut, awan mendung Desember meriung di langit Geser—pulau terapung di tepi Timur pulau Seram, Maluku.
Salama pergi ke pasar saat Rahmat telah berangkat ke sekolah. Seluruh mata melihatnya dari segala penjuru, seperti menyisakan tanda tanya begitu bunga desa itu tiba di pasar, seorang bujang yang berdiri di seberang jalan, pun tak ketinggalan melempar pandangnya. Tatapan-tatapan itu menegaskan dirinya, bahwa inilah yang akan dilakukannya seumur hidup: bangun di pagi buta memasak air panas, pergi ke pasar membeli segala sesuatu untuk dimasak, dan kembali tidur di malam hari.
***
Desember kelabu telah berlalu, fajar Maret menyapa senyum musim pancaroba, tak terasa usia pernikahan meraka genap tiga bulan tujuh hari. Salama mulai merasa perubahan pada tubuhnya, kepalanya pusing-pusing dan seringkali merasa mual, perutnya perlahan membesar. Ternyata, benih yang ditanam Rahmat saat malam pertama itu, telah membuahkan janin berusia tiga bulan dalam kantong rahimnya—keterangan itu diperoleh Salama dari bidan desa saat Rahmat membawanya periksa.
Parasaan berbeda mulai dirasakan Salama, bahagia bercampur cemas, menyadari dirinya kini menjadi seorang ibu, rasa cinta terhadap suami dan keluarganya mulai bersemayam dalam hatinya.
***
12 November 1996. Air ketuban telah pecah, Salama masih dalam tangisnya menahan sakit semenjak magrib, suaranya meraung-raung lemas di keheningan malam. Di ruang tamu Rahmat gelisah tak karuan, tetangga sekitar dan beberapa anggota keluarga Rahmat serta orangtua Salamah, pun terlihat tegang di sana. Kursi rotan di ruang tamu itu, diduduki Rahmat tak seperti biasanya. Sebentar-sebentar duduk, lalu berdiri dan mundar-mandir di depan pintu kamar.
“Pinggangnya terlalu kecil, jadi anaknya susah keluar, tubuh istrimu juga semakin lemah, karena kelelahan mendorong,” kata Bidan yang keluar dari dalam kamar dengan tubuh lesu dan wajah peluh.
“Kalau begitu, panggilkan nenek Biang[1] untuk dibacakan Ar tatak[2], cepat!” pinta mertua Rahmat padanya.
Lalu sekedip mata, Rahmat hilang di balik gelap pintu pagar halaman rumah.
Tak lama setelah itu, Rahmat muncul dari teras depan, dengan menggendong nenek Biang yang tertatih-tatih berjalan.
“Ambilkan segelas air putih” kata dukun beranak itu dengan nafas tersengal-sengal begitu tubuh tuanya yang membungkuk, terjaga di kursi rotan, di ruang tamu itu.
“Berikan dia air ini, tapi jangan diminum semuanya, sisakan sedikit lalu basuhkan pada perutnya.” Pinta nenek Biang pada Rahmat begitu selesai membacakan doa pada gelas yang berisi air putih itu.
Setelah Rahmat menunaikan pinta dukun beranak itu, Bidan mengganti botol infus yang keenam. Beberapa saat kemudian, Salama kembali berteriak meraung-raung memecah keheningan malam karena kesakitan, bayi dalam perutnya pun melesat keluar merobek otot-otot rahimnya, tangis bayi perempuan mungilnya pecah. Sesaat setelah Salama melahirkan, suara azan subuh pun terdengar dari musala.
Mata sayup-sayup Salama meneteskan air mata bahagia menggenangi wajahnya yang lesuh dan pasu, tergeletak diatas tempat tidur. Senyum Rahmat berseri-seri menerangi pagi buta, digendong bayi cantiknya, lalu meletakannya di dada Salama, didapatilah Salama dan bayi cantiknya dalam pelukan Rahmat. Para keluarga dan tetangga, pun menghembus nafas panjang, jantung-jantung dan saraf-saraf yang tegang kembali pada fungsi normalnya.
Setelah kelahiran bayi perempuannya yang cantik, wajahnya begitu mirip dengannya. Barulah Salama mengerti apa yang dibisikkan Rahmat saat malam pertama itu “aku adalah pena dan kau lembarannya. Pertemuan pena pada kertaslah terciptanya tulisan-tulisan indah”.
[1] Dukun beranak.
[2] Air yang dibacakan doa, agar mempermudah persalinan.
Penulis: Syarif Lahmady, kelahiran Ambon 01 Juni 1992, suka kopi dan rokok. Senang menggosip Tuhan dan perempuan.
Sumber gambar :http://dhffy.deviantart.com/art/Awareness-of-time-remaining-The-memory-279336960
0 komentar:
Posting Komentar